EKONOMI › INSTRUMEN STABILISASI BERAS MAKIN TUMPUL
PERBERASAN
Instrumen Stabilisasi Beras Makin Tumpul
Oleh:
M PASCHALIA JUDITH/FERRY SANTOSO
Realisasi penyerapan beras oleh Perum Bulog terus turun tiga tahun terakhir. Di hulu, harga pembelian makin tertinggal oleh harga pasar. Sementara di hilir, salurannya makin sempit.
JAKARTA, KOMPAS — Selain cadangan beras pemerintah jadi tidak optimal, penyerapan gabah/beras yang rendah oleh Bulog dinilai makin melemahkan fungsi stabilisasi harga. Di hulu, harga pembelian pemerintah kian tertinggal oleh biaya produksi dan harga pasar. Sementara di hilir, Bulog kehilangan kanal penyaluran.
Realisasi pengadaan gabah/beras oleh Bulog terus turun sejak 2016. Tahun ini, Bulog ditargetkan menyerap 1,8 juta ton beras, tetapi sampai Selasa (30/4/2019), realisasinya baru 309.328 ton atau sekitar 17 persen. Padahal, pengadaan beras diharapkan bisa mencapai 80 persen dari panen rendeng awal 2019 ini.
Rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP) dinilai berperan pada rendahnya pengadaan. Hingga kini, penyerapan berpatokan pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, antara lain mengatur HPP gabah kering panen (GKP) Rp 3.700 per kilogram (kg).
Padahal, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, ongkos produksi telah jauh lebih tinggi. Survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia di 26 kabupaten produsen padi per April 2019, misalnya, menyimpulkan bahwa ongkos produksi telah mencapai Rp 4.532 per kg GKP. Survei International Rice Research Institute, ongkos produksi padi di Indonesia tahun 2013-2014 mencapai Rp 4.082 per kg.
Rendahnya harga pembelian pemerintah (HPP) berperan pada rendahnya pengadaan.
Bulog memang dibekali fleksibilitas HPP sebesar 10 persen oleh pemerintah. Dengan kelenturan itu, Bulog bisa membeli gabah dengan harga Rp 4.070 per kg GKP di petani. Namun, harga di lapangan jauh lebih tinggi, bahkan saat puncak panen raya. Survei Badan Pusat Statistik di 2.135 lokasi transaksi gabah di 28 provinsi pada Maret 2019 menunjukkan, harga di tingkat petani rata-rata Rp 4.606 per kg GKP.
Kehilangan saluran
Peluang Bulog untuk menyerap gabah/beras dalam negeri makin kecil dengan harga pasar yang selalu di atas HPP dan makin jauh dari tahun ke tahun. Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, berpendapat, jika tetap dipaksa menyerap beras dalam jumlah besar di hulu, Bulog berpotensi merugi dan pelan-pelan bangkrut. Sebab, Bulog tak lagi memiliki kanal penyaluran seiring perubahan bantuan pangan dari raskin/rastra ke nontunai.
”Dugaan saya, oleh karena tidak ingin merugi, Bulog mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan, terlihat dari realisasi penyerapan beras yang terus turun sejak 2017. Jika tetap dipaksa menyerap di hulu, Bulog berpotensi merugi dengan desain kebijakan seperti saat ini, siapa pun direksinya,” kata Khudori.
Raskin/rastra bukan sekadar subsidi pangan. Menurut dia, program itu terintegrasi dengan hulu, yakni perlindungan harga di tingkat produsen/petani melalui HPP. Di hilir, warga miskin mendapatkan jaminan pangan dengan harga terjangkau, setidaknya 40 persen kebutuhan pangannya tercukupi. Selain itu, program rastra/raskin menjadi instrumen stabilisasi harga beras di hilir karena volumenya mencapai sekitar 10 persen kebutuhan nasional.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, menilai, Bulog kehilangan fungsinya sebagai stabilisator harga pangan. Hal itu terindikasi dari seretnya penyerapan gabah/beras dalam negeri. ”Salah satu cara mendongkrak penyerapan adalah dengan merevisi Inpres No 5/2015. HPP untuk GKP semestinya di atas Rp 4.400-4.500 per kg karena ongkos produksi meningkat, selain faktor inflasi,” ujarnya.
HPP sesuai Inpres No 5/2015 dinilai perlu direvisi, setidaknya memenuhi ongkos produksi yang dikeluarkan petani. Menurut Andreas, HPP GKP setidaknya Rp 4.500 per kg. Selain itu, HPP idealnya direvisi setiap tahun dan diumumkan bulan Agustus-Oktober. ”Pada Agustus-Oktober, petani memasuki masa tanam. Dengan pengumuman HPP pada masa itu, petani mendapatkan gambaran harga yang akan diterima pada masa panen,” katanya.
Pemerintah juga tidak dapat mengandalkan skema komersial jika dengan HPP fleksibilitas Bulog tetap tak mampu menyerap gabah petani.
”Dengan skema komersial, Bulog menyerap dengan harga yang berlaku di pasar. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi Bulog dalam melindungi harga di tingkat petani karena harga yang berlaku di pasar berpotensi lebih rendah dari ongkos produksi,” ujarnya.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, stagnasi HPP tiga tahun terakhir patut diwaspadai. Sebab, penyerapan gabah/beras oleh Bulog membentuk harga dan memengaruhi kesejahteraan petani.
Aspek perlindungan harga dan kesejahteraan penting bagi petani. ”Dalam rantai pasok beras, petani berperan sebagai produsen sekaligus konsumen. Saat ini, selisih harga gabah yang diterima petani dengan harga beras yang dibayar petani masih tinggi. Harga beras sekitar dua kali lipat harga gabah,” tutur Guntur.
Tetap menyerap
Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Arjun Ansol menyatakan, penyerapan berkurang karena penyaluran di hilir berkurang. Namun, Bulog tetap menyerap beras untuk stok, penjualan komersial, ataupun bantuan sosial rastra. ”Sesuai ketentuan, Bulog itu memiliki tugas tidak hanya di hulu, yaitu menyerap, tetapi juga memiliki tugas di hilir, yaitu menyalurkan,” kata Arjun.
Pada Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 diatur bahwa Perum Bulog dapat melakukan penyaluran pangan yang dikelola untuk kebutuhan masyarakat berpendapatan rendah. Penyaluran beras ditetapkan oleh penyelenggara urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pemerintah tetap mendorong Bulog menyerap beras dalam negeri. Fleksibilitas HPP diharapkan mendongkrak jumlah pengadaan.
Kepala Bagian Humas dan Kelembagaan Perum Bulog Teguh Firmansyah menyebutkan, penyerapan beras dari petani selama Januari-April 2019 mencapai 309.000 ton. Stok beras yang ada pada Bulog per April 2019 mencapai 2 juta ton.
Di sisi lain, per April 2019, penyaluran beras Bulog untuk bansos rastra sekitar 177.000 ton, penyaluran untuk operasi pasar atau CBP sebanyak 212.000 ton, dan penjualan secara komersial 42.000 ton.
Menurut Firmansyah, bansos rastra tetap berjalan di 295 kabupaten/kota, terutama di daerah-daerah yang belum terlayani program bantuan pangan nontunai.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pemerintah terus mendorong Bulog menyerap gabah untuk menjaga harga di tingkat petani. Fleksibilitas HPP diharapkan mendongkrak jumlah pengadaan dalam negeri.
Suratkabar KOMPAS, 2 Mei 2019
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/05/02/instrumen-stabilisasi-beras-makin-tumpul/