Suratkabar Kompas 23 April 2019
Pengadaan Beras Dalam Negeri Cenderung Merosot Tiga Tahun Terakhir
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
23 April 2019 20:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS – Pengadaan cadangan beras pemerintah yang berasal dari serapan gabah dan beras dalam negeri cenderung merosot dalam tiga tahun terakhir. Penurunan ini dapat berimbas pada jaminan perlindungan harga di petani.
Pemerintah menugaskan Perum Bulog dalam pengadaan CBP melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Bulog mencatat, jumlah pengadaan CBP dari dalam negeri pada 2016 sebesar 2,96 juta ton, pada 2017 sebesar 2,16 juta, dan pada 2018 sebesar 1,44 juta ton pada 2018.
Jika dilihat pada periode Januari-April, pengadaan beras dari serapan domestik mencapai 671.496 ton (2016), 902.652 ton (2017), dan 282.609 ton (2018). Pada awal pekan ini, jumlah serapan pada Januari-April 2019 telah mencapai 226.000 ton.
Padahal potensi penyerapan gabah tertinggi terdapat di semester I secara tahunan karena adanya panen raya. Rata-rata penyerapan selama semester I pada 2016-2018 sebesar 63 persen.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja mengatakan, seretnya serapan Bulog pada Januari-April 2019 patut diwaspadai. Seharusnya penyerapan pada panen raya dapat dioptimalkan untuk pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) sepanjang tahun.
“Penyerapan pada semester II cenderung lebih sedikit karena adanya musim kering sedangkan permintaan beras dari masyarakat cenderung tetap,” kata dia kepada Kompas, Selasa (23/4/2019).
Di samping itu, Guntur berpendapat, rendahnya penyerapan pemerintah pada Januari-April 2019 disebabkan oleh stok awal Bulog yang terlalu banyak pada awal tahun. Adapun Bulog mendata, stok awal 2019 sebesar 2,1 juta ton.
Tren merosotnya penyerapan dalam negeri untuk CBP akan berdampak negatif bagi petani. Jika penyerapan gabah atau beras dari petani semakin rendah, jaminan perlindungan harga di tingkat petani kian memudar.
Tren merosotnya penyerapan dalam negeri untuk CBP akan berdampak negatif bagi petani. Jika penyerapan gabah atau beras dari petani semakin rendah, jaminan perlindungan harga di tingkat petani kian memudar.
Guntur menuturkan, dalam rantai pasok gabah dan beras, petani berperan sebagai produsen sekaligus konsumen. Artinya, ada kesenjangan harga ketika petani menjual gabah dan membeli beras.
“Saat ini, rata-rata petani membeli beras dengan harga dua kali lipat dari harga jual gabahnya,” kata dia.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2019, rata-rata nasional harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 4.604 per kilogram (kg). Sementara itu, rata-rata harga beras kualitas medium di tingkat penggilingan Rp 9.555 per kg.
Saat ini, Bulog diminta menyerap GKP di tingkat petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 3.700 per kg sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Pemerintah memberikan fleksibilitas HPP itu sebesar 10 persen menjadi Rp 4.070 per kg.
Guntur mengatakan, Intani mengusulkan HPP diubah menjadi Rp 4.600 per kg-Rp 4.700 per kg berdasarkan ongkos produksi dan kebutuhan hidup petani sehari-hari. “Pemerintah perlu mengefisiensikan distribusi rantai pasok beras agar HPP dapat naik dan harga beras di tingkat konsumen tetap terjangkau,” kata dia.
Baca juga: Stok Beras Mengandalkan Panen April dan Mei
Deputi Bidang Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Wahyu Kuncoro mengemukakan, peran Bulog dalam melindungi harga di tingkat petani sebagai produsen serta menstabilkan harga beras di tingkat konsumsi merupakan suatu dilema.
“Kedua hal ini bagai dua kutub yang berbeda. Di satu sisi, harga diminta tinggi sedangkan di sisi satunya harga diminta murah agar tetap terjangkau,” ujarnya.
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/04/23/pengadaan-beras-dalam-negeri-cenderung-merosot-tiga-tahun-terakhir/